
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Dr Munawar A Djalil MA menerima Cendera Mata dari Datok Abdullah Pejabat Kerajaan Kelantan Usai Diskusi Syariat Islam di Aceh, di Ruang Rapat Potensi Daerah, Jumat Pagi, (4/7).
Dinas Syariat Islam Aceh – Jika dikaitkan dengan daya tarik wisata religi, maka Aceh tentu memiliki daya tarik yang begitu kuat. Itulah sebabnya, jumlah wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke Aceh untuk menikmati nuansa syariat Islam semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Hal ini pula yang mendorong salah satu jiran kita para pejabat dari Negeri Kelantan, Malaysia untuk mempelajari serta merasakan pengalaman spiritual di Bumi Serambi Mekah yang merupakan pintu gerbang masuknya Islam pertama kali ke Indonesia. Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh sebagai aparatur pemerintah yang ikut menangani pelaksanaan syariat Islam di Aceh turut serta menyambut kedatangan para pejabat kerajaan Kelantan Malaysia di Aula Ruang Rapat Potensi Daerah yang disambut langsung oleh Kepala DSI Aceh Dr Munawar A Djalil MA pada Jumat pagi, (4/7/).
Datok Abdullah yang mewakili Kerajaan Kelantan mengatakan ingin bertukar pengetahuan /pengalaman dalam pelaksanaan syariat islam, terutama tatacara pelaksanaan hukuman sebat di Aceh. Di Malaysia sudah ada Undang-undang sebat secara syariah, akan tetapi sebatan yang dilakukan tidak mencukupi jumlah hukum syara’ dan tempat dilaksanakan sebatan itu di penjara. Kelantan telah mendesak kepada Kerajaan pusat untuk menambah jumlah sebatan dan hukuman dilaksanakan di tempat yang terbuka, namun banyak pihak yang menentang dengan paham tersebut.
Semangat juang dari rakyat Aceh yang melaksanakan sebatan di depan khalayak ramai dan jumlah sebatan mencukupi hukum syara’ mendorong kami untuk berkunjung ke Aceh dalam bertukar pandangan agar kami dapat melaksanakan syariat islam di Kelantan sesuai dengan kehendak Allah SWT,” jelasnya.
Datok H M Nasruddin yang mewakili rombongan menerangkan bahwa tujuan kunjungan tersebut dengan maksud menjalin silaturahmi serta menambah ilmu pengetahuan terkait penerapan syariat Islam di Aceh terutama di bidang pendidikan dan pengajaran. Kunjungan tersebut ingin mengetahui lebih dalam tentang implementasi pelaksanaan Syariat Islam yang sedang di jalankan di bumi Aceh.
Dalam pertemuan itu Kadis Syariat Islam Aceh Dr Munawar A Djalil MA yang didampingi oleh sejumlah pejabat di lingkungan DSI Aceh mengatakan secara kultur syariat Islam di Aceh telah berlangsung lama dimana penduduk Aceh mayoritas beragama Islam. Hal itu terlihat saat masyarakat Aceh melakukan prosesi pernikahan, warisan, hibah, sedekah, maupun aktifitas lainnya yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Sementara dari segi politik/kekuasaan negara, syariat Islam di Aceh baru diformalisasikan pada tahun 1999. Ada 3 hal keistimewaan yang diberikan kepada Aceh untuk mengimplementasikan syariat Islam yaitu dalam bidang agama, pendidikan dan adat budaya. 2 tahun kemudian lahir Undang-undang no 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus, kemudian tahun selanjutnya pasca tsunami Aceh lahir Undang-undang no 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Udang-undang yang terakhir ini mengamanahkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Aceh.
“Berbeda dengan Kelantan, secara politik Aceh diberikan otonomi seluas-luasnya yang mempunyai otoritas mengurus sendiri dalam konteks syariat Islam. Kita punya Undang-undang special yang diberikan untuk Aceh dan kita diamanahkan untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah,”ungkap Munawar.
“Indonesia tidak mengenal hukuman sebat dan diyat, tapi di Aceh boleh diberlakukan hukuman sebat dan diyat. Hal ini terus dipertanyakan oleh pihak luar (asing) termasuk pakar-pakar hukum nasional dan internasional. Mereka mempertanyakan kenapa Aceh boleh menjalankan hukuman sebat dan diyat dan sebagainya. Amanah daripada undang-undang no 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, Aceh bisa menentukan jenis hukuman lain yang berbeda oleh konstitusi secara nasional yang berlaku di Indonesia walaupun belum maksimal, hukuman sebatan yang dibuat masih berlandaskan quran dan hadist,” jelasnya.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak luar (asing) termasuk lembaga internasional yang mengurus hak asasi manusia mereka meminta proses hukum Liwath yang terjadi dua bulan lalu untuk dihentikan. Kita punya aturan yang membolehkan penegakan hukum dan karena kita mempunyai qanun jinayah maka proses ini terus dilanjutkan hingga penegakan hukum selesai dilakukan,” tuturnya.
Di Aceh, sebatan dilakukan didepan umum yang disaksikan oleh khalayak ramai kecuali anak-anak di bawah umur 18 tahun. Prinsip dari hukum jinayah yang disusun tujuannya untuk memberikan pembelajaran (tarbiyah) baik kepada pelaku maupun masyarakat muslim Aceh secara umum.
“Untuk Non Muslim di Aceh berlaku hukum dengan 3 kondisi, pertama jika non muslim bersama dengan orang muslim melakukan jarimah, kedua mereka boleh menundukkan diri kepada hukum syariah secara sukarela dan yang ketiga jarimah yang dilakukan belum ada ketentuan hukum sipil maka mereka dapat di hukum secara syariah. Misalnya khalwat, yang tidak di atur dalam hukum nasional maka diberlakukan hukum syariah kepada si pelanggar,” tegas Munawar.
Dr Munawar A Djalil MA berharap agar seluruh elemen masyarakat terus membumikan syariat Islam dengan benar-benar kaffah di Aceh, selain itu diharapkan agar hubungan kerjasama ini dapat terus terjalin.