Mengumpulkan yang Terserak

Kepala Dinas Syariat Islam Aceh DR Munawar A Djalil MA Foto Bersama Direktur Van Vollenhoven Institute Prof Dr Adriaan Bedner Serta Direktur Program Pascasarjana Prof Dr Syahrizal Abbas MA dan Guru Besar UIN Ar Raniry Prof Dr A Hamid Sarong

Kepala Dinas Syariat Islam Aceh DR Munawar A Djalil MA Foto Bersama Direktur Van Vollenhoven Institute Prof Dr Adriaan Bedner Serta Direktur Program Pascasarjana Prof Dr Syahrizal Abbas MA dan Guru Besar UIN Ar Raniry Prof Dr A Hamid Sarong Di Leiden.

OLEH DR MUNAWAR A DJALIL MA, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, melaporkan dari Belanda

MENURUT Wikipedia, Leiden adalah salah satu kota terpenting di Provinsi Zuid, Holland, maupun di Belanda secara umum, meski kota ini tidak terlalu besar. Di kota ini ada Universitas Leiden (Universiteit Leiden) yang ternama.

Universitas Leiden adalah universitas tertua di Negeri Belanda dan sudah didirikan pada tahun 1575. Bisa dikatakan bahwa Leiden merupakan gudang dari warisan literasi Indonesia. Selain Perpustakaan Universitas Leiden yang menyimpan La Galigo, manuskrip terpanjang di dunia, Leiden juga memiliki perpustakaan dengan koleksi buku tentang Indonesia yang cukup lengkap. Koninklijk Instituut voor Taal en Volkenkunde (KITLV) atau dalam bahasa Indonesia disebut

Lembaga Studi Asia Tenggara, Karibia, dan Kerajaan Belanda merupakan perpustakaan yang memiliki hampir semua buku tentang Indonesia. Catatan-catatan sejarah tentang berbagai suku di Indonesia, bahasa, sastra, dan beragam buku lainnya bisa dengan mudah ditemukan di perpustakaan ini. Sebagai negara yang pernah menyerang Aceh, sangat banyak sumber sejarah Aceh yang tersimpan dengan sangat baik di Belanda. Oleh karena itu, tidak mengherankan banyak peneliti yang tertarik mengkaji tentang Aceh pasti akan pergi ke Belanda untuk memperoleh sumber bagi tulisannya.

Ada banyak lembaga di Belanda yang menyimpan sumber sejarah Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Sebagai orang yang baru pertama menginjakkan kaki di universitas tersebut saya sangat terkesima ketika memasuki Perpustakaan Universitas Leiden.

Ternyata universitas ini punya koleksi buku lebih dari 5,2 juta judul, lebih dari 50.000 jurnal, dan sejumlah koleksi manuskrip khusus, baik berbentuk buku, arsip, cetakan, gambar, fotografi, peta, dan atlas. Perpustakaan ini punya koleksi terlengkap di dunia tentang Nusantara dan merupakan “rumah” bagi para peneliti yang mencari data tentang Nusantara. Perjalanan saya kali ini bersama Prof Syahrizal Abbas (Direktur Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Prof Hamid Sarong (Guru Besar UIN Ar-Raniry) ke Belanda atas undangan Direktur Van Vollenhoven Institute, yaitu Prof Dr Adriaan Bedner. Beliau adalah salah seorang guru besar Leiden Law School, Universitas Leiden.

Keperluannya adalah untuk melakukan riset/penelitian terkait dengan bagaimana proses dan mekanisme transformasi ajaran dan norma syariah dalam regulasi negara pada masa Kerajaaan Aceh Darussalam hingga otonomi khusus Aceh. Penelitian ini menjadi penting artinya bagi Aceh saat ini untuk menemukan bagaimana formula kebijakan negara dalam melakukan transformasi ajaran dan norma syariah dalam regulasi tertulis dan pelaksanaan syariat Islam pada masa Kesultanan Aceh dan era otonomi khusus.

Karena dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh selama ini ada tiga pilar utama yang menjadi kerangka dan pedoman, yaitu transformasi norma syariah dalam regulasi negara, peran lembaga-lembaga pemerintah dan nonpemerintah serta partisipasi dan peningkatan kapasitas masyarakat.Walaupun dalam tatanan praktisnya mengalami hambatan, sebagai contoh ketika transformasi norma hukum syariah dalam regulasi tertulis negara dikerjakan oleh otoritas negara, maka problem yang muncul adalah bagaimana memaknai konsep-konsep hukum dan moral dalam Alquran dan sunah diterjemahkan secara konkret dalam norma hukum positif.

Maka untuk menjawab problem ini kiranya perlu memetakan kembali sejarah pelaksanaan syariat Islam pada masa kesultanan, terutama era Sultan Iskandar Muda. Karena fakta sejarah menukilkan bahwa Kerajaan Aceh pada saat itu menjadi salah satu kerajaan terbesar di dunia. Kenapa Universitas Leiden menjadi pilihan untuk penelitian ini, karena memang literatur tentang Aceh di universitas ini sangat lengkap. Saya mendapatkan 12.710 literatur yang berkaitan dengan Aceh. Dari jumlah ini, literatur yang berbentuk buku berjumlah 4.785 judul. Literatur ini selain berbahasa Aceh, juga ditulis dalam bahasa Indonesia, Melayu, Inggris, Swedia, dan sebagainya. Saya sangat berharap Pemerintah Aceh Hebat (2017-2022) di bawah Bapak Irwandi dan Nova dapat memulangkan semua sumber sejarah Aceh di Belanda.

Upaya “mengumpulkan yang berserak (peusapat yang meusipreuk)” sesungguhnya sangat logis karena dengan tersimpannya sumber-sumber tersebut di Aceh, masyarakat dengan mudah mengaksesnya. Yang tak kalah penting, sumber itu kembali menjadi milik kita. Namun, muncul pertanyaan kemudian, mampukah kita menjaga sumber-sumber tersebut sebagaimana Belanda melakukannya? Semoga.

Sumber : Serambinews

Posted in Berita and tagged .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *