Dinas Syariat Islam Aceh – Sejak 2018 lalu Aceh telah memiliki Qanun baru yang mengatur seluk beluk praktik keuangan di Aceh yaitu Qanun Aceh Nomor 11 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Yang menjadi premis dari adanya qanun ini adalah bahwa dengan perubahan radikal pada cara pandang masyarakat tentang keadilan perekonomian (fairness) sesuai dengan prinsip muamalah Islam, diikuti perubahan radikal pada prilaku ekonomi masyarakat, maka pemberdayaan dan kesejahteraan individu maupun kolektif akan dapat terwujud ke depan.
Kita patut mengapresiasi berbagai upaya yang telah dilakukan, baik oleh pemerintah atau berbagai lembaga keuangan untuk menyesuaikan operasional lembaga mereka dengan aturan dalam Qanun ini. Namun disayangkan, dengan alasan atau pandangan tertentu, masih ada pihak-pihak yang belum sepaham bahkan memandang sinis terhadap upaya ini. Untuk menyatukan persepsi, ada beberapa hal mendasar yang patut kita camkan bersama.
Pertama, kita sepatutnya tidak lupa bahwa sebahagian besar permasalahan yang dialami masyarakat Aceh khususnya atau Indonesia pada umumnya adalah warisan sistem perekonomian kapitalistik. Sistem ini selama puluhan tahun terbukti hanya mampu menciptakan segelintir orang kaya dan sebahagian besar rakyat tidak berkecukupan. Ketika kita menolak menerapkan prinsip ekonomi syariah, itu berarti pula bahwa kita menolak adanya upaya untuk merubah keterpurukan tersebut. Jadi sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat jika ada orang yang berargumen bahwa sistem kapitalistik ribawi harus dipertahankan demi menjaga keharmonisan perekonomian kita dengan tatanan perekonomian dunia yang sudah berjalan selama ini.
Kedua, diakui atau tidak prinsip-prinsip perekonomian non-syar’i telah banyak lahir praktik-praktik keuangan yang menyengsarakan masyarakat, tanpa ada celah untuk terjadinya pemberdayaan ekonomi masyarakat secara utuh. Pembiayaan yang serampangan, pembiayaan konsumtif, penggiringan masyarakat ke dalam jurang hutang, sistim keuangan ribawi dengan angka-angka khayalan yang tak berwujud nyata adalah diantara praktik-praktik yang terus meninabobokkan masyarakat dan memperburuk nasib banyak orang, dari kehidupan mandiri walau hanya sebagai petani atau nelayan, kepada masyarakat penghutang penggali lobang dan penutup lobang. Jika tidak ada rekayasa sosial, apalagi dengan cara yang telah diperintahkan oleh agama, maka keterpurukan ini dipastikan akan terus berlanjut.
Ketiga, praktik riba telah terbukti hanya mampu menumbuhkan ekonomi spekulatif (wahmiy) yang sering berujung pada terjadinya ketidakseimbangan dalam neraca perekonomian (misalnya ketidakseimbangan antara angka keuangan dan aset ril). Sistem kapitalistik, bagaimana pun hebat penerapannya, terbukti belum mampu menghadirkan kemakmuran individu sebagaimana dicita-citakan oleh Islam. Di negara maju sekalipun, angka kemakmuran sering diukur dalam hitungan kolektif (GDP), dimana kehidupan per individu kaum menengah ke bawah tetaplah tidaklah senyaman yang digembar gemborkan. Praktik riba yang sangat akut sering menyebabkan rasa frustasi di banyak negara ‘maju’ dimana income seseorang dengan sangat mudah teroffsidekan oleh bunga hutang yang berlebihan.
Dari sedikit gambaran di atas, kita patut berbangga bahwa secara konseptual, andaipun belum ada negara di dunia yang mampu menerapkanya secara murni, prinsip-prinsip Islam sangatlah ideal. Dengan keyakinan ini, mari kita bahu membahu dengan ikhlas dan kesabaran untuk membumikan konsep samawi ini, dengan harapan akan ada perubahan yang signifikan terhadap alur perekonomian Aceh ke depan. Hijrah dari ciri perekonomian yang egois dan oportunistik kepada perekonomian yang lebih diridhai Allah SWT adalah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan.(*)
Sumber : Serambinews.com