
Rombongan khalifah model school Malaysia berfoto bersama pegawai DSI Aceh di aula LPTQ Aceh (13/7/2018) Jum’at siang.
Dinas Syariat Islam Aceh – Aceh dikenal sebagai salah satu wilayah di Nusantara yang bercirikan Islam paling menonjol. Ditambah lagi dengan karakteristik masyarakat Aceh yang tegas dengan pegangan dan keyakinannya, sehingga budaya yang berbau sinkretisme tidak mudah berkembang di bumi serambi Mekkah ini. Aceh juga memiliki kesempatan yang lebih istimewa lagi berupa otoritas pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah yang mendapatkan legitimasi formal dari pemerintah pusat. Sehingga beberapa alasan inilah yang menjadi daya tarik komunitas Luar Negri untuk mengunjungi Aceh, termasuk Sekolah Menengah Tahfidh Mithali Khalifah Malaysia.
Rombongan yang berjumlah 30 orang dibawah pimpinan Ustad Muhamad Afif bin Idris (Wakil Kepala Sekolah Menengah Tahfidh Mithali Khalifah) tiba di Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh (13/7/2018) Jum’at siang di aula LPTQ Aceh. Kehadiran mereka disambut oleh Kepala DSI Aceh Dr EMK Alidar, S.Ag., M.Hum yang diwakili Plt Bina Hukum dan HAM DSI Aceh Muzakkir, S.H didampingi Dr. Fikri Bin Sulaiman Ismail, LC, serta sejumlah pegawai DSI Aceh lainnya.
Ustad Muhamad Afif bin Idris selaku ketua rombongan mengatakan bahwa tujuan mereka ke Aceh selain untuk menyelami kehidupan masyarakat Aceh juga untuk mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. “ kami nak cari tau tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh”, tutur ustad Muhamad Afif bin Idris yang kental dengan logat melayunya.
Dalam sesi diskusi tersebut Muzakkir menjelaskan bahwa DSI Aceh lahir pada tanggal 25 Januari 2002 pada masa pemerintahan Gubernur Abdullah Puteh. Instansi ini dibentuk dengan peraturan daerah No. 33 tahun 2001, tentang pembentukan susunan organisasi dan tata kerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. DSI Aceh berperan dalam mewujudkan aktualisasi risalah Islam secara menyeluruh dan universal, yaitu membangun dan mewujudkan masyarakat yang taat kepada Syariat Islam. DSI Aceh sebagai salah satu bagian dari pemerintah Aceh bertugas melakukan pengawasan, sosialisasi dan pembinaan terhadap Syariat Islam bagi masyarakat Aceh yang memeluk Agama Islam.
Ia melanjutkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh berlaku secara konstitusional yaitu berdasarkan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, dimana Aceh diberikan keiistimewaan oleh negara untuk menegakkan syariat Islam secara menyeluruh. Ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dan diperkuat dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh untuk menerapkan syariat Islam secara Kaffah.
Sementara itu, Dr Fikri Bin Sulaiman mengutip pernyataan dari seorang Profesor Amerika yang bernama Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.
Dr. Fikri menambahkan, setelah melalui perjalanan yang panjang untuk memperjuangkan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dan terjadi musibah tsunami tahun 2004 maka pada pertengahan tahun 2005 dicapailah kesepakatan untuk menghentikan konflik antara GAM dan Tentara Republik Indonesia (TNI) dibantu Polisi Republik Indonesia (Polri) di Helsinki, Finlandia. Kemudian melalui perundingan tersebut diperoleh sebuah kesepakatan damai yang dikenal dengan nama Memorandum of Understanding (MoU) . Perundingan itu tidak hanya menjadi angin segar bagi kedamaian masyarakat Aceh, tetapi juga termaktub hak-hak masyarakat Aceh yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat melalui Pemerintah Aceh terkait dengan kesejahteraan masyarakat Aceh. “Ada tiga poin utama yang dimuat dari MoU Helsinki tersebut yaitu mengenai penerapan syariat Islam dan Lembaga Wali Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, dan pembagian hasil minyak bumi dan gas alam sebesar 70 persen”, ujar Fikri menutup diskusinya.