OLEH DR MUNAWAR A DJALIL MA, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, melaporkan dari Kota Brugge, Belgia
Di sela-sela studi penelitian saya di Leiden Uiniversity, Belanda, saya sempatkan melawat via darat ke Belgia, tepatnya ke Kota Brugge, lebih kurang tiga jam perjalanan dari Amsterdam. Sepanjang perjalanan saya menikmati keindahan alam yang menakjubkan, perkebunan bunga, dan sayur yang tertata asri.
Sesampai di Kota Brugge saya tertegun sejenak saat pertama memandang arsitektur bangunan kuno di kota ini. Kota Brugge masuk dalam daftar situs warisan dunia Unesco. Luas wilayahnya 138.40 km. Setiap sudut kota berada di wilayah aliran sungai.
Saya merasakan dua hal ketika pertama kali menginjakkan kaki di Brugge. Yakni, suasana klasik di tengah peradaban modern. Seolah-olah seperti kita masuk ke zaman abad pertengahan yang sebelumnya hanya saya lihat di buku-buku klasik atau film-film televisi.
Seni, sejarah, dan arsitektur agung menghiasi kota ini dan tentu menjadi surga bagi para pecinta barang antik. Di Kota Brugge ini ada tempat bernama Dijver. Di sini kita bisa berburu barang antik dan benda-benda kuno. Namun, harga barangnya lumayan mahal sehingga kita harus siap merogoh kocek dalam-dalam. Harga yang relatif mahal ini tampaknya biasa, mengingat Brugge menjadi salah satu kota turis terkenal di dunia.
Yang membuat kita semakin betah di Brugge adalah ketika menelusuri kanal-kanal kecil tanpa riak. Para turis melintasi areal pepohonan yang hijau, berbatasan dengan rumah-rumah tua. Walaupun saya tak sempat naik perahu menjelajahi kanal, namun saya merasakan keasyikan tersendiri melihat para turis menikmati senja di sungai-sungai kecil yang diapit oleh bangunan-bangunan kuno tersebut.
Setelah hampir tiga jam berkeliling Brugge, pikiran saya langsung menerawang jauh ke Banda Aceh. Bagi saya Banda Aceh merupakan sebuah kota yang sarat dengan nilai-nilai sejarah. Namun, potret sejarah Kota Banda Aceh makin hari semakin pudar, seiring semakin menipisnya semangat mempertahankan nilai sejarah itu. Kecuali Masjid Raya Baiturrahman yang punya nilai sejarah dengan arsitektur bangunan masih bisa dipertahankan, namun kebanyakan situs sejarah di Banda Aceh telah hilang dan akan dilenyapkan. Contoh terakhir adalah rencana pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande yang lokasinya ternyata merupakan tapak masjid dan makam ulama-ulama Aceh terdahulu. Disinyalir pembanguan ini akan melenyapkan cagar budaya dan situs sejarah Aceh, di antaranya makam ulama kuburan para raja Aceh tempo dulu. Kita patut memberi apresiasi mendalam kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang telah meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk menghentikan pembangunan IPAL di Gampong Pande.
Menurut Gubernur Irwandi, pembangunan IPAL di lokasi itu merupakan kecelakaan sejarah. Malah Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah SE pada hari Minggu (29/10/2017) lalu menyebutnya sebagai bagian dari grand design penghancuran Islam. Ya, itulah Aceh yang sarat dengan sejarah kegemilangannya, namun nuansa kesejarahannya, terutama di Banda Aceh tidak lagi kelihatan. Aromanya tidak lagi tercium, mungkin akibat modernisasi dan masa bodoh rakyat serta pemimpinnya. Oleh karena itu, bercermin dari bangsa Eropa, ternyata mereka adalah sebuah bangsa yang sangat menghargai sejarah bangsanya. Contohnya Brugge, sebuah kota yang dimensi sejarahnya sangat jelas kelihatan. Begitu juga aroma sejarahnya, begitu jelas tercium. Maka wajar kalau kenangan Kota Brugge akan sangat sulit dilupakan.
Sumber : Serambinews